Jikalau tak ada telepon pintar, degupku padamu akan lebih kencang dan
terawat karena menunggu pesanmu lebih lama tiba karena menunggu Bapak
Pos penyampai pesan mengantar sepucuk suratmu, lebih lama dari sekedar
simbol "R" ataupun notifikasi "last seen".
Jikalau tak ada
telepon pintar, tidak akan ada manusia-manusia tolol yang menggadaikan
nyawanya dengan membagi tangan, mata dan pikirannya; berkendara atau
menatap layar terang untuk sekedar membalas pesan atau mungkin menjaga
eksistensi di dunia maya. Mereka mengganggap dirinya manusia besi dan
seorang pro, sepertinya.
Jikalau tak ada telepon pintar,
aku atau kamu bisa sama-sama menjadi pendengar dan pembicara yang baik,
saling menatap mata, membaca gerak bibir dan memperhatikan senyuman atau
kernyitan dahi, bukannya menjadi pendengar bayangan yang sibuk menatap
linimasa. Tapi itu juga senjata untukmu atau untukku, ketika yang
didengar atau yang dibicarakan tak lagi semenarik kicauan orang populer.
Atau bisa jadi, ketika tak ada yang mendengar atau berbicara denganmu,
jadi senjata pembunuh sunyi.
Jikalau tak ada telepon
pintar, akun realava atau gambar bergerak dalam format tigajipi tidak
akan ramai dan riuh karena anak muda masa kini nya tidak lagi sibuk
merekam dan menggunggah anu dan nganu.
Jikalau tak ada
telepon pintar, apa hidupmu atau hidupku bisa jadi lebih mudah? Atau
bisa pula jadi lebih rumit, tapi bukankah kita manusia-manusia penyuka
kerumitan seperti halnya kerumitan gerak ibu jarimu mengetik atau
semudah telunjukmu menyentuh layar kristal cair.
Jikalau tak ada telepon pintar, aku lebih memilih menyentuhmu ketimbang sekedar membaca pesan ambigu tak jelas makna...
Jimbaran, limabelas sepuluh duapuluhtigabelas
dua nolnol pagi.
No comments:
Post a Comment