Ketika sekedar mengingat bagaimana tiap sore
dia dengan rutin beralih menjadi tukang kebun pribadi di rumah kami, saya pun
menirunya, meniru tapi tak sama, meniru memori darinya untuk yang mengenalnya
atau mungkin saya hanya meniru untuk mengobati hati saya sendiri atau untuk
menahan air mata yang tidak terbendung dan membuat saya bisa dengan mudahnya
menangis ketika berjalan atau terdiam.
Saya menyebutnya patah hati,
Dimana sampai saat ini pasangannya masih tersenyum
ketika sekedar mengingat bagaimana dia senang mencicipi kue buatan pasangannya,
sembunyi-sembunyi mengambil dan memberikannya ke tetangga yang akrab dengannya
atau rutinitas teh paginya, saya mendengar dan menjadi pendengar yang ikut
tersenyum serta mengamini.
Saya menyebutnya patah hati,
Ketika sampai hari ini masih banyak yang
membicarakan tentangnya, cara dia bercanda, tak pernah mengucap kata tak bisa
ketika orang lain meminta pertolongannya atau hal memilukan tentang bagaimana
dia, gerak geriknya di masa menjelang dia pergi, satu jam, dua jam sebelumnya dia
masih bisa membagi canda dan saya tak di sana, saya cuma bisa menahan isak,
tersenyum dan berkata, betapa mereka mencintai dan merindukanmu.
Saya menyebutnya patah hati,
Ketika hingga hari terakhirnya, saya cuma
sempat mengucap sayang padanya di tempat dia beristirahat.
Saya menyebutnya patah hati,
Bahkan ketika saya pun ingin menjadi kuat dan
menjadi pemimpin, saya masih bisa menangis dan merengek seperti putri manjanya
belasan tahun silam yang selalu merajuk padanya bahkan di depan pasangannya.
Hati saya patah, meski tak sepatah
pasangannya.
Hati saya patah, meski hanya punya sesal.
Hati saya patah, bahkan kata move on saya kesampingkan.
Hati saya patah, sampai saya
terduduk dan membuat catatan ini tentangnya,
84 hari bukan waktu yang panjang atau pendek
untuk menyambung hati yang patah.
Tapi semua memori akan menyambungnya.
Tapi semua memori akan menyambungnya.
Thank you and I hope you're happy there Ayah...
Jimbaran, duatiga noltujuh duapuluhsatutiga
No comments:
Post a Comment